Masalah kota, masalah kita – rusuh kota, rusuh kita
Menanggapi kerusuhan di Inggris -yang juga melanda kota dimana kami tinggal di Manchester- saya menulis catatan di bawah ini sebagai reaksi atas berbagai analisis yang gencar muncul di media. Catatan ini saya kirim ke harian Kompas 11 Agustus dan, setelah diedit sana-sini, dimuat tanggal 22 Agustus 2011 (silakan baca di sini). Sebelumnya, juga saya ‘kicau’kan di Twitter, yang diarsip rekan saya mas Suryaden di blognya (di sini).
Selamat menikmati catatan (yang lebih lengkap) ini – semoga berguna.
Opening the Black Box: Adoption of Innovations in Voluntary Organisations
I received an email from SSRN today, saying that this paper was on the Top 10 List as of yesterday 8-12-2009. Not a great deal, but still, I’m quite happy. This paper was presented at ISPIM conference in Singapore December 2008 and -after some revisions- was published as Manchester Business School Working Paper No. 576. This paper was submitted to Research Policy, which, very very luckily did not reject it but suggested me to do some revision for resubmission. Of course, for an innovation scholar, the chance to publish in Research Policy (even if it is just a chance!) is too good to miss. Just wish me luck, guys!
krisis global tak berdampak ke TKI di inggris? yang bener aja …
siang sampai sore hari ini saya mendapat telepon dari tanah air beberapa kali. kalau tak salah hitung, ada 8 atau 9 kali, dari orang yang berbeda-beda dan dua diantaranya dari media massa. ada kemiripan semua isi telepon itu. awalnya, semua bertanya, “apa benar tak ada dampak krisis ekonomi saat ini di inggris?“. saya jawab, “tidak benar“. lalu saya tanya balik, “kenapa?” lalu dijawab, “kompas yang bilang itu“. saya menukas, “ngawur itu. sudah pasti kompas salah.” lalu ditanggapi lagi, “lha ini dari wawancara mereka yang bekerja di ingris kok“. lalu saya menukas lagi, “lha yang diwawancarai yang nggak ngerti situasinya.” lalu yang bikin saya shock, “lha bukannya kamu juga diwawancarai?”
masih soal RUU pornografi
di bawah ini statement KWI (konferensi waligereja indonesia) tentang RUU pornografi. saya catat di sini bukan karena saya seorang katolik đ tetapi karena keprihatinan mendalam tentang diskursus pornografi yang kini sudah menjadi “kendaraan politik”.
Indonesian CSOs – Formal status as strategy
The survey (of 268 CSOs during this study) shows that 73.13% of respondent CSOs are formally registered organisations. While this may sound strange recognising that many social movement organisations are informal (Crossley, 2002; Davis et al., 2005; Della-Porta and Diani, 2006), interviews may be able to provide some explanation. The program manager of Yayasan SET explained explicitly that, âin legal terms, all [CSOs] are foundations. What we have [termed as] NGOs, LSMs, CSOs â they are all [legally registered as] foundationsâ (Kristiawan, interview, 28/10/05). Kristiawanâs explanation confirms findings from previous work. In their attempt to escape from government control, there was a period when many Indonesian CSOs felt it necessary to formally register with the notary as a foundation (yayasan) as this would provide a necessary legal basis for the organisationsâ existence and at the same time âexemptedâ them from current laws aimed at controlling CSOsâ activities (Bunnell, 1996:198; Eldridge, 1995:7-8; Hadiwinata, 2003:95-96).
post scriptum
It was one day in the mid of May 1998, the year of living dangerously in Indonesia following the prolonged 1997 economic crisis which led to severe socio-political calamity. During the days of riots and mayhem, I found myself on the street of Jakarta with thousands students and social activists, challenging the government to cease power. During a severe attack by military, we were forced back from the famous âSemanggiâ bridge in the central Jakarta. A violent strike forced us to retreat and hide, otherwise being targeted by the real bullets. We then hid in the morgue at the Jakarta Hospital near Atmajaya University. To our panicking mind, hiding in the place of dead bodies was the only way to keep safe from the armed military personnel who ran after demonstrators violently. I honestly thought that it would not be long before they found us there.
matinya akal sehat – RUU Pornografi
saya mendapat posting RUU pornografi di bawah ini dari seorang kawan. RUU ini barusaja diserahkan oleh DPR pada pemerintah, yang setelah mengeluarkan draft RUU sandingan dan membahasnya dengan DPR, akan mengesahkannya. jika anda merasa ada yang tidak beres dengan RUU ini, bersuaralah!
On Civil Society
B. Herry-Priyono, an Indonesian scholar, writes this extremely interesting article in The Jakarta Post, scrutinising what is prevailed as ‘civil society’, especially in the current context of Indonesia. Intellectually inspiring, and provoking. Enjoy!
Belajar dari Inggris â Integrasi budaya kaum minoritas
Opini Media Indonesia, 12 Agustus 2006
Yanuar Nugroho
Tanggal 7/8/06 Channel 4 televisi Inggris menayangkan dokumentari kontroversial berjudul What Muslims want (Apa yang diinginkan kaum muslim).
Dokumentari ini disusun berdasarkan survei yang dilakukan oleh NOP kepada seribu orang muslim di Inggris secara acak-sistematis untuk menjawab pertanyaan: sejauh mana orang-orang muslim di Inggris menjadi ancaman bagi negara dan nilai-nilai yang dianut di Inggris selama ini?
Memikir ulang prioritas
MIMBAR – Mingguan Hidup, Juni 2006
Yanuar Nugroho
Beberapa hari setelah gempa melanda Yogya, saya terlibat dalam pembicaraan intensif jarak jauh melalui telepon dengan seorang sahabat karib. Ia menjadi relawan yang bersama timnya tengah membantu menangani korban di salah satu Paroki dan ia mengamati kejadian yang mengejutkannya: dia melihat Gereja setempat memprioritaskan umat Katolik untuk mendapatkan bantuan, sedangkan yang lain didiskriminasikan. Merasa galau melihat hal itu, ia meminta bantuan saya untuk mengangkat persoalan ini.
Mencerna Kondisi Sosial Dunia
Media Indonesia â OPINI â 15 September 2005
Yanuar Nugroho
MUNGKIN karena riuh rendah persoalan ekonomi, politik, dan sosial di Tanah Air hari-hari ini, banyak dari kita tak tahu saat PBB merilis laporannya 25 Agustus lalu.
Padahal, laporan berjudul The World Social Situation: Inequality Predicament (âSituasi Sosial Dunia: Parahnya Ketimpanganâ) ini amat penting untuk diketahui. Mengapa?
Melawan Neoliberalisme
Media Indonesia â OPINI â 2 Pebruari 2005
Catatan: Versi yang dimuat di Media Indonesia (di link ini) sangat buruk editingnya, sehingga merubah banyak makna dan membingungkan. Posting ini adalah versi aslinya.
Yanuar Nugroho
Perhelatan itu baru saja usai. Forum Sosial Dunia (World Social Forum) yang kelima diselenggarakan di Porto Alegre, Brasil (26-31 Jan 2005) dan dihadiri oleh ribuan aktivis LSM dari seluruh dunia (termasuk belasan dari Indonesia). Di perhelatan itu, 11 tema besar diusung dan digagas dalam ratusan lokakarya dan seminar paralel. Intinya satu, mendengungkan dan mendesakkan cita-cita âAnother world is possibleâ â bahwa sebuah dunia yang lain, yang lebih adil dan damai, itu mungkin.
Kriteria Pemimpin Kita â Membela yang Tersisih (Bagian Terakhir)
TEROPONG – Mingguan Hidup, Mei 2004
oleh Yanuar Nugroho
Catatan: Penulisan artikel bersambung ini diperkaya dalam berbagai diskusi di komunitas Uni Sosial Demokrat dan Forum Masyarakat Merdeka di Jakarta, Bogor, Bandung, Solo, Yogyakarta dan Surabaya. Catatan ini telah dirumuskan dalam bentuk kampanye penyadaran publik sebagai bahan pendidikan pemilh (voters education) bagi masyarakat akar rumput dan masyarakat basis. Terima kasih kepada Bp. Bambang Warih Koesoema, Sdr. Joannes Joko, Sdri. Esti Wulandari, Sdr. Jati Kuswardono, Sdr. DJ. Patrick Pello dan Sdr. Julius Bagus yang membantu mempertajam rumusan ini.
Bocah itu baru 12 tahun. Namanya Haryanto. Tinggal dan bersekolah di sebuah desa kecil di Garut, Jawa Barat, kelas 6 SD. Tak ada yang istimewa darinya. Ia hanya satu dari sekian juta anak-anak Indonesia yang sering dilupakan. Di bulan Agustus 2003, ia mengejutkan kita dengan kenekadannya menggantung diri dengan seutas tali jemuran. Ia mencoba bunuh diri, karena merasa sangat malu ibunya tak mampu memberi uang Rp 2.500 yang dibutuhkan untuk membayar kegiatan tambahan di sekolah yaitu membuat sulaman burung. Ketika ibunya ditanya, jawabnya âDi hari naas itu, saya hanya mendapat uang belanja Rp 7.000 dari suami saya. Itu pun sudah habis untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mana ada sisa untuk membayar biaya praktek sulaman burung?â Kita pun terpana: sebuah keluarga dengan sejumlah anak, hidup dengan Rp 7.000 sehari. Kira-kira sama dengan tingkat hidup kaum marhaen di jaman Belanda dulu. (Radio 68H, Tajuk, 25 Agustus 2003)
Kriteria Pemimpin Kita â Membangun Demokrasi (Bagian Pertama)
TEROPONG – Mingguan Hidup, Mei 2004
oleh Yanuar Nugroho
Catatan: Penulisan artikel bersambung ini diperkaya dalam berbagai diskusi di komunitas Uni Sosial Demokrat dan Forum Masyarakat Merdeka di Jakarta, Bogor, Bandung, Solo, Yogyakarta dan Surabaya. Catatan ini telah dirumuskan dalam bentuk kampanye penyadaran publik sebagai bahan pendidikan pemilh (voters education) bagi masyarakat akar rumput dan masyarakat basis. Terima kasih kepada Bp. Bambang Warih Koesoema, Sdr. Joannes Joko, Sdri. Esti Wulandari, Sdr. Jati Kuswardono, Sdr. DJ. Patrick Pello dan Sdr. Julius Bagus yang membantu mempertajam rumusan ini.
Sampai tulisan ini ditulis, KPU belum juga selesai melakukan penghitungan suara. Padahal, menurut jadwal semula (KPU, 2003), 7 Mei 2004 ini adalah batas waktu pencalonan pasangan presiden dan wakilnya. Maka tak heran kalau pelaksanaan Pemilu membawa optimisme sekaligus skeptisme di tengah-tengah kita. Yang optimis buru-buru mengatakan sebagai âdemokratisâ berjalan âlancar dan transparanâ, merasa proses ini menyelamatkan negara dari kehancuran. Yang skeptis, sebaliknya, buru-buru menyatakan sikapnya menolak hasil Pemilu dan bahkan melihat matinya proses reformasi karena ââŠproses politik yang sedang berlangsung tidak berwibawa dan tidak berdasarkan aspirasi rakyat.â (Kompas, 7 April 2004).
Wakil Rakyat
TEROPONG – Mingguan Hidup, April 2004
oleh Yanuar Nugroho
mBah Kromo, sebut saja demikian namanya, 72 th, terpekur di bilik suara aluminium yang lebarnya hanya 60cm itu. Ia nampak bingung membolak-balik keempat kertas suara yang lebih panjang (80cm) dari lebar biliknya. Lebih dari 10 menit ia di dalam bilik hingga membuat khawatir petugas KPPS, sebelum akhirnya keluar dengan senyum lebar, memasukkan keempat kertas suara di keempat kotak yang tersedia di TPS 014 di Kelurahan Gandekan Tengen, Kecamatan Jebres, Solo. Waktu duduk kembali di sebelah saya untuk sekedar istirahat, saya tanya beliau dalam bahasa Jawa, âMbah, kok tadi lama sekali di dalam bilik?â Jawabnya, âWah, lha saya bingung mau milih yang mana. Maka tadi semua nama saya coblosi, biar adil, biar semua kepilih. Yang penting kan milih wakil rakyat, toâ. Memahami kompleksitas perkara âwakil rakyatâ ini, saya hanya tersenyum.
Social economic rights need more understanding
Headlines – The Jakarta Post, Thursday, December 04, 2003
Yanuar Nugroho
Look at this time-series data on evictions in Jakarta, compiled and processed by the Jakarta Social Institute (ISJ) and the Jakarta Residents’ Forum (Fakta). First, during 2001, the Jakarta municipality, in the name of law and order, evicted the urban poor 99 times.
21st-century crusade to reduce world poverty
The Jakarta Post – Headline News, 17 October 2003
by Yanuar Nugroho
In spite of the development of agriculture, scientific knowledge and modern technology, the wealth of the poorest group has actually fallen. The United Nations Development Program (UNDP) this year reports that more than 1.2 billion people across the world — two-thirds of them women — live in crushing poverty, and face difficult access to food, safe water, sanitation, basic education and health services.
Parpol 2004: Menuju Matahari Terbenam
TEROPONG – Mingguan Hidup, Oktober 2003
oleh Yanuar Nugroho
Baru saja diumumkan bahwa 34 partai politik (parpol) lolos verifikasi untuk ikut dalam pemilu 2004. Entah berapa lagi yang akan lolos, atau justru gugur, bukanlah inti soalnya. Melainkan, apakah para parpol tersebut cukup visioner sebagai penyambung lidah aspirasi rakyat âatau setidaknya, konstituennya? Mari kita lihat secuplik data.
Kepemilikan Intelektual â Saat Manusia Bermain sebagai Tuhan
TEROPONG, Mingguan Hidup, September 2003
oleh Yanuar Nugroho
Saat ini, uang menentukan hidup mati seseorang. Makin sedikit anda punya uang, makin sedikit pula kesempatan anda untuk hidup di bumi ini. Suka atau tidak, ini sebuah fakta. Setidaknya, kini kita hidup dalam sebuah dunia dimana mati atau hidup bukan lagi sesuatu yang âalamiahâ, melainkan âbisa dibuatâ.
Tragedi Pendidikan Kita
TEROPONG – Mingguan Hidup, Juli 2003
oleh Yanuar Nugroho
Mereka yang peduli akan sistem pendidikan di negara ini berpikir sangat keras hari-hari ini. Setelah fakta tragis pengesahan UU Sisdiknas secara tidak demokratis yang membawa berbagai kontroversi, setidaknya ada dua fakta lain mengemuka.
Recent Comments