Sosok Wong Solo

Sebuah Perspektif Wacana Gelar Budaya Surakarta I

(Tulisan ini dikirimkan ke Harian Solopos pada tanggal 20 Agustus 2000, sebelum saya bertolak ke Inggris. Seorang kawan mengirimkan email memberitahukan bahwa tulisan ini dimuat, tidak diketahui apakah diedit atau tidak — dan tidak terlacak sampai sekarang)

Sebutlah Pak Supeno, seorang petani gurem yang rela untuk ber-repot-repot bersama istri dan kedua anaknya yang masih kecil, naik becak dari mBaki, desa kecil di selatan kota Solo, datang dan menonton Gelar Budaya Surakarta yang diselenggarakan di Pura Mangkunegaran. Bagi Pak Supeno ini, jarak mBaki – Solo yang ditempuh dengan becak bukanlah masalah. Demikian pula dengan Pak Bejo, penarik becaknya, yang malam itu ikut bersama Pak Supeno dan keluarganya secara egaliter duduk bersama penumpangnya lesehan menyantap semangkuk wedang dongo dan seporsi sega-liwet. Bagi orang-orang sederhana ini, acara Gelar Budaya adalah sebuah pahargyan, sebuah momen-publik untuk bersama bergembira.

Lain Pak Supeno, lain lagi dengan Bu Diah dari Kemlayan yang juga datang ke Gelar Budaya ini. Bagi Bu Diah, perhelatan ini merupakan sinyal adanya obral, artinya kesempatan untuk mendapatkan barang-barang bagus dengan harga murah. Maka, tidak heran jika bu Diah tetap ngotot menawar sebuah daster walau berlabel “Harga Pas Rp 12.500,-“ dan uniknya lagi, sang penjual pun akhirnya mengalah melepaskan daster itu dengan harga Rp 8.000,- bagi Ibu dari tiga anak ini.

Pasti masih banyak kisah lain seputar Gelar Budaya ini. Perspektif momen-sosial –yang setidaknya secara samar dinyatakan Pak Supeno—ataupun perspektif ekonomis dari Ibu Diah tadi, sebenarnya menyiratkan apa yang selama ini disebut dengan istilah wacana. Wacana, atau discourse, adalah hasil dari suatu interaksi-dialektis antara kenyataan (realitas) dengan kerangka abstraksinya. Bagi Pak Supeno, interaksi ini berakhir dengan sebuah wacana pahargyan-publik sementara bagi Ibu Diah, wacana ini jelas mengemuka sebagai wacana ekonomi. Maka, sebenarnya pertanyaan yang menggelitik adalah, wacana-pokok apa yang ingin dihadirkan pada masyarakat Surakarta dengan Gelar Budaya ini?

***

Jika dilihat dari pekerjaan dan domisili, saya mungkin sudah tidak sah lagi disebut wong Solo. Lha wong saya tinggal di Jakarta dan bekerja di sana. Tapi, historisitas saya sebagai wong Solo jelas tidak hilang. Ibu saya melahirkan saya di RS. Jebres, orang tua saya membesarkan saya di Kalirahman-Gandekan Tengen, mengirim saya belajar ke SDK Sorogenen, SMP Bintang Laut dan sekolah di SMA 3 Warungmiri. Fakta ini jelas tak terbantah. Meski setelah lulus SMA saya melanjutkan kuliah ke Bandung dan kini bekerja di Jakarta, saya, dari perspektif historis, adalah wong Solo.

Tetapi saya, dan mungkin juga banyak orang lain, menemukan bahwa realitas wong Solo saat ini dengan wong Solo dulu, telah berubah. Setidaknya, berbeda. Dulu, ketika saya masih SMA dan Solo kondhang dengan Solo-Berseri dan Adipura-nya, saya tidak melihat pengamen-pengamen berandalan di perempatan-perempatan jalan yang marah –malah menggores mobil— jika tidak diberi uang kecil oleh si pengemudi (bisa jadi pengemudi itu medhit, atau memang pas tidak punya uang kecil). Dulu, seingat saya, rasa saling-percaya antar sesama warga masyarakat itu tinggi. Kini, gejala sosial yang terjadi tidak lagi memperlihatkan hal itu. Kecurigaan antar orang cukup tinggi, apalagi yang berbeda secara ekonomi. Lebih parah lagi, social distrust –ketidakpercayaan sosial—ini kini mengarah ke tribalisme, yaitu pengidentifikasian diri menurut tribe, basis primordial, entah itu agama, etnis maupun ras. Tambahan lagi, tingkat kemiskinan dan angka pengangguran –entah berapa tepatnya—meninggi secara pesat di Kota Bengawan ini. Mau tidak mau, greget sebagai sebuah kota, pusat interaksi masyarakat, terpengaruh dengan ini.

Kini, sepuluh tahun sesudah saya lulus SMA, saya melihat wajah Solo sudah berubah. Demikian juga dengan wong Solo-nya. Mengapa? Pertanyaan ini spontan akan saya jawab, karena krisis ekonomi, kris-mon, kata teman-teman lama saya di sini. Memang tidak bisa dipungkiri, krisis itu demikian telak menghantam kita. Kata mBak Karlina Leksono, aktivis Suara Ibu Peduli, hingga kini ada 30 hingga 35 juta anak balita yang otaknya rusak karena kekurangan protein sebagai akibat krisis berkepanjangan sejak 1997 itu di seluruh Indonesia, khususnya di kota yang secara langsung terimbas krisis, termasuk Solo ini. Mereka inilah yang akan menjadi beban masyarakat 10 – 15 tahun lagi. Mereka akan terhambat secara intelektual, menjadi anak jalanan, pengemis, gelandangan, atau setidaknya secara mental, terbelakang. Mereka inilah yang sering disebut dengan lost-generation, generasi yang hilang itu.

Benar kata mBak Karlina itu. Saya setuju. Tetapi saya juga akan beranjak lebih jauh lagi, bahwa di satu sisi ada suatu kemerosotan yang bersifat sistemik, menyeluruh, di masyarakat kita. Kemerosotan itu terjadi dalam hal moral, disiplin, kejujuran, integritas dan bukan hanya dalam hal sosial-ekonomi. Sementara kita wong Solo semua ini, sadar atau tidak, mau atau tidak, merasakan atau tidak, ikut terseret dalam kemerosotan ini. Kualitas moral kita merosot, kualitas disiplin kita melemah, demikian juga dengan kejujuran –apalagi integritas diri—yang sudah ketinggalan jaman. Jujur, kojur. Kasus pembakaran Balaikota, misalnya –lepas dari keberpihakan politik mana—adalah cerminan kemerosotan ini. Sementara, di sisi lain, dunia di luar sana sudah berubah dengan cepat dan imbasnya dirasakan sampai di sini. Kalau boleh saya sederhanakan, dunia luar dengan cepat bergerak mengikuti arus kapital (modal) yang globalistik. Ambillah contoh Mc Donald atau Kentucky, atau shopping dan fashion yang digelar di Matahari Singosaren. Interaksi di sana adalah cerminan-lokal dari interaksi serupa yang sudah membudaya di negara-negara maju yang secara modal jauh lebih kuat daripada kita. Budaya itulah yang secara tidak sadar kita hidupi sebagai budaya kita juga dengan dalih “kemajuan”.

Jadi, dari kacamata saya, memang kojur kita ini. Sudah tertimpa krisis ekonomi yang demikian parah, moral masyarakatnya ambruk, eh masih juga kita menjadi sasaran empuk budaya kapitalistik-global ini. Maka, kalau nanti AFTA 2003 diterapkan, atau pasar bebas diberlakukan, saya tidak akan heran –meski pasti akan sangat prihatin—jika wajah Solo dan wong Solo-nya akan makin amburadul lagi. Sebagai salah satu entitas budaya, rasanya Solo tidak akan ada lagi dan tertelan budaya lain, yang entah seperti apa. Ini bukan saya anti Barat, lho. Tetapi, bukankah proses inkulturasi –persenyawaan—budaya yang wajar itu hanya akan terjadi jika masing-masing budaya berdialog dalam posisi yang relatif sebangun. Nah, saya rasa kecil kemungkinan akan terjadi inkulturasi antara budaya Solo dengan budaya modern ini jika budaya Solo nya sendiri pupus seperti sekarang ini. Bukan begitu?

***

Nah, dari sisi inilah, saya mengapresiasi Gelar Budaya ini. Malam Minggu itu, dalam perjumpaan tak lebih dari 15 menit dengan keluarga Pak Supeno dan Ibu Diah di halaman Puro Mangkunegaran, rasanya masih banyak yang tak tuntas untuk saya sibak. Sayang, saya pakai kemeja batik yang rapi karena baru saja jagong sahabat karib saya yang menikah, jadi saya terhambat untuk masuk dan bicara lebih dalam lagi pada orang-orang sederhana ini, yang masih melihat batik prada sebagai simbol orang atas. Padahal, saya ya hanya rakyat jelata sama seperti mereka itu. Ini pun satu bentuk de facto pemaknaan budaya itu. Tapi, mari saya teruskan. Apa yang sebenarnya saya apresiasi? Jawabannya sederhana: ruang untuk berwacana. Meskipun, seperti saya kemukakan di muka, saya juga belum tahu wacana pokok apa yang mau ditawarkan dengan perhelatan ini. Namun bagi saya, ruang untuk berwacana itu sendiri sudah cukup. Mengapa?

Ijinkan saya merujuk seorang pemikir Barat, namanya Gramsci. Dia melihat bahwa masyarakat terbangun atas interaksi yang lebih dari sekedar interaksi modal atau kapital. Dan di situlah, lebih atau kurang, budaya itu dimaknai. Yaitu suatu sistem-nilai-bersama yang mendorong manusia berelasi satu-sama-lain. Pemikiran ini, dalam sejarahnya, merupakan kritik sekaligus koreksi dan tambahan atas teori Marx dalam bukunya yang terkenal, Das Kapital (The Capital) atau Modal, yang mengatakan bahwa manusia semata-mata berelasi karena corak-hubungan yang berdasar dari kepentingan mencari uang. Wacana masyarakat, demikian Gramsci, karenanya adalah dan dicerminkan melalui budaya lokal yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.

Nah, sekali lagi: nah, di sinilah Gelar Budaya ini saya lihat sungguh mempunyai makna. Untuk itu tadi: memberi ruang agar masyarakat berwacana sendiri, menggali sendiri, mencari sendiri sosok dan jati dirinya melalui interaksi wajar antar warga. Interaksi itu bisa berupa interaksi jual-beli, ngobrol ngalor ngidul, wedangan, atau juga menonton reyog, jathilan, tari Campursari kontemporer yang menghebohkan itu, menonton pameran produksi, dan lain-lainnya. Memang tidak semuanya perfect, 100% sempurna. Masih ada yang menyayangkan mengapa harus dibedakan stand di luar pagar dan di dalam pagar pura, misalnya. Atau, mahalnya harga stand yang tidak terjangkau bagi pedagang kaki lima. Sehingga, nuansa universalitas –keseluruhannya—agak luput dari maksud semula. Tapi, biarlah. Inilah realitanya. Biarkan saja masyarakat Solo mencari dan menemukan kembali budaya yang hilang itu, termasuk segala kekurangan Gelar Budaya ini. Budaya yang dimaksudkan di sini, kini jelas tidak hanya budaya tari-tarian dan karawitan, melainkan sesuatu yang lebih luas: peradaban.

Penemuan-kembali peradaban ini, dalam konteks lokal, bisa sangat bermakna untuk kembali menata Solo yang porak-poranda akibat krisis berkepanjangan ini. Saya mau melihat lebih dalam lagi, bahwa ajang yang digagas dan dilakoni segelintir orang yang tanpa pamrih seperti panitia saat ini seharusnya menjadi inspirasi bagi segenap elit dan birokrasi di Solo. Tidak saja ini menjadi inspiratif bagi DPRD, Walikota dan juga pemimpin-budaya seperti Kanjeng Mangkunegoro dan Sri Sunan Pakubuwono, tetapi juga bagi para pengusaha, penanam modal dan juga di saat yang sama, seluruh lapisan masyarakat Solo. Inspirasi untuk apa? Untuk mengembalikan Solo dan wong Solo-nya pada peradaban dan budayanya.

Diskusi sampai dini hari tadi antara saya, sepulang nonton Gelar Budaya itu, dengan sobat karib saya yang kebetulan ketiban sampur menjadi panitia dan seorang sahabat lain jebolan UGM yang sangat berpengalaman dalam aktivitas community building –ingin saya bagikan di sini. Kami mencoba berandai-andai dari sudut pandang kami bertiga yang memang berbeda-beda ini, jika kami ada pada posisi pengambil keputusan. Kami berpikir, jika saja ada sedikit keberanian dari pemerintah daerah untuk mendorong aktivitas semacam Gelar Budaya ini secara lebih sistematik. Misalnya, berkoordinasi dengan Deperindag untuk melakukan pendataan tentang basis industri kecil di Solo dan mempertemukannya dengan kalangan usaha, atau aktivitas yang mempertemukan langsung antara produsen dan konsumen sehingga selisih harga yang demikian tinggi karena distribusi bisa dipotong. Demikian juga usaha-usaha untuk mendorong interaksi antar masyarakat semacam pasar-rakyat yang bisa saja digelar di Manahan, atau di tempat-tempat umum lainnya. Kajian lebih dalam, misalnya dari kalangan usaha untuk mengangkat kehidupan lebih banyak orang, akhirnya mungkin tidak akan menjadi terlalu sulit lagi untuk dilakukan.

Usaha semacam ini, tentu akan melibatkan dan membutuhkan keterlibatan banyak orang yang beritikad baik. Dunia pers/media massa, dunia usaha, dunia pendidikan, militer, birokrasi dan kalangan ningrat-keraton perlu bahu-membahu mendorong masyarakat Solo menemukan kembali peradabannya yang sempat hilang ini dan mencitrakan kembali figur wong Solo yang kini kian kabur gambarnya.

Kita ini, jika diumpamakan, hidup dalam satu perahu, yaitu Solo dan budaya Solo ini. Jika perahu itu bocor di buritan, bagian mana dari kapal itu yang tenggelam? Semuanya.

Kini, buritan itu bocor. Di tempat para pengamen jalanan itu, di tempat para berandalan-berangasan itu, di tempat petani-petani miskin yang selalu ditindas tengkulak itu, di tempat mbok-mbok bakul yang tidak lagi bisa berjualan karena Pasar Gede kobong, di tempat anak-anak muda pengangguran yang sering mendem itu … di situ, perahu “Solo” itu bocor. Dan jika tidak ditambal, diperbaiki, seluruh perahu, termasuk yang tidak ada di buritan, yaitu para pengusaha, para elit politik dan birokrasi, pemerintahan, orang-orang mapan, akan ikut tenggelam. Karena kita ada di perahu yang sama … Gelar Budaya ini, setidaknya telah berusaha menambal kebocoran itu, meski airnya masih mengalir deras masuk melalui lubang-lubang lain yang lebih besar. Untuk itu, sebagai wong Solo, saya mengucapkan terima kasih. Matur Nuwun.

***

Penulis adalah wong Solo. Saat ini menjadi pengamat ekonomi-sosial, penulis, Sekretaris Jenderal Uni Sosial Demokrat Jakarta, staf pengajar luar biasa Jurusan Teknik Industri Universitas Trisakti Jakarta dan sementara ini tinggal di Jakarta.

  1. Riwan
    Thursday, 8 February 2007 at 11:24 am

    Halo Mas Yanuar

    Orang solo juga obyektif Tanggal 1 Februari 2007 malam jum’at kliwon. beberapa kerabat mangkunegaran melakukan ruwatan disendang mbeji parangtritis. oleh Ki dalang Taryono dari bracan, Tirtomulyo, bantul.
    Siapapun yang mampu tak peduli solo atau yogya seharusnya ditempatkan sesuai keprofesionalitasnya.

    Ada yang mau ruwatan mas ?

  2. Friday, 9 February 2007 at 10:01 am

    halo juga mas riwan.

    iya betul, harusnya memang profesionalitas lebih menentukan ketimbang solo-yogya-semarang-nya. anda dari solo? atau yogya? atau diantaranya? 🙂
    boleh tahu blog-blog tentang solo?

    salam,
    y

  3. Ed
    Friday, 16 March 2007 at 8:33 pm

    Halo,

    Yanuar Nugroho, nama yang terasa sangat akrab di telinga. Setelah memilah-milah file di otak, akhirnya menemukan data bahwa anda adalah kenalan istri saya (M.A. – NJ, US). Tulisan yang sangat dalam dengan pendekatan budaya sosial yang sederhana, sangat enak dibaca. Sebagai sesama orang Solo, membaca kata “Mbaki”, “Kemlayan”, “Warung Miri” langsung men-triger kenangan masa-masa indah di Solo dengan Pisang Molen, Teh Jahe, Sega Kucing, Tahu dan Tempe Bacem Bakar (sengaja ditulis dengan huruf besar untuk menunjukkan betapa sakralnya barang-barang itu ketika lebih dari 7 th tidak menikmatinya.. 🙂

    Anyway, salam kenal dan terus berkarya…. Long Live Wong Solo!!!

  4. Friday, 16 March 2007 at 10:27 pm

    mas ed,

    salam kenal juga. saya baru tahu bahwa anda suaminya MA (dan baru tahu juga MA sudah menikah). Selamat. Ndherek Bungah!

    panjenengan di solo dulu di-mana-nya? saya dari ng-gandekan tengen, pasar gede ngetan, lalu ngidul sedikit … sebelah utaranya sangkrah.

    betul .. jauh dari solo memang “menyengsarakan” … apalagi kalau terdampar di negeri seperti tempat anda atau saya tinggal sekarang ini .. 🙂

    sugeng makarya,
    y

  5. Wednesday, 2 January 2008 at 5:19 am

    wah…. baru nemu nih, wong solo emang oye…!
    Salam kenal semuanya….
    Saya juga alumni warungmiri …

  6. Tuesday, 5 February 2008 at 8:33 am

    bagus juga wordpress-nya ya…met kenal ya..

  7. Anton Zainudin (SAWIT)
    Tuesday, 12 February 2008 at 11:08 am

    Wah tulisan sampeyan memang cakep bgt dengan vocab yang njawani dan membuat saya teringat masa-masa dulu waktu smp dan sma (smp 3 dan sma 3) ketika menyusuri daerah kemlayan, pergi ke rumah temen daerah mbaki nongkrong di wedangan pak jo kotta barat. tarikan di jalan arah ke colomadu dll. skarang setelah kurang lebih 7 tahun meninggalkan solo (dulu masih sering pulang ke solo 3 bulan sekali, tetapi 2 tahun terakhir ini hanya pas lebaran) banyak yang telah berubah. saya ngerasa solo skarang ga senyaman dulu (semoga hanya perasaan saya saja).
    BTW, di tulisan sampeyan (yang di atas) bilang “setelah 10 tahun lulus sma” berarti sampeyan lulusan ’97 ato ’98 tetapi maaf saya kok sudah agak samar-samar mengingat nama sampeyan ya …dulu sampeyan ikut extra apa ?
    Salam kenal saja dari saya dan kalau ada waktu longgar kirim tulisan di SMAGA-Surakarta@yahoogroups.com ya..

    Regards
    Sawit ’97 (palasmaga)

  8. Thursday, 26 June 2008 at 5:03 am

    Salam kenal, aku lahir di colomadi th 68 skrg di jkt

  9. Thursday, 26 June 2008 at 6:03 am

    email aku colomadu2002@yahoo.com kontak aku ya

  10. Thursday, 26 February 2009 at 7:48 pm

    tulisannya membuat saya teringat semua kenangan2 manis di Solo (SDN87,SMP2,SMA3 86,FKUNS 94)…bagus mas…
    saya membacanya sampai 2 x untuk mengenang kembali masa kecil di Sriwedari kalau ada pentas seni, pasar malem ..dst..terlalu banyak kenangan di kota itu …nggak mungkin teruraikan satu persatu…..tp hati ini sdh terpatri kuat dg Solo….
    salam manis dan sukses selalu….Dr.Wisnoe P,SpJP (Spes. Jantung & Pembuluh Darah)
    wisnoepribadi@yahoo.com

  11. Friday, 27 February 2009 at 12:58 am

    pak dokter wisnu dkk. yang lain.
    terima kasih mampir ke blog saya.

    anda alumni SMA3 juga? saya masuk 87 lulus 90.
    ada milis alumni smaga smaga-surakarta@yahoogroups.com — silakan bergabung.

    salam (kenal)
    y

    • Thursday, 22 July 2010 at 2:36 am

      saya masuk 87 lulus 90

      Oooo, adik angkatan Mas Hengky ya Mas??? kemarin senin saya ketemu Mas Hengky di Jaten..kalau saya masuk 2000 lulus 2003

  12. miftah
    Saturday, 27 June 2009 at 7:19 am

    salam rimba palasmaga

    undangan PKJ 2009
    tempat : kalisoro, sekipan
    tgl : 29 juni – 1 juli 2009
    dateng ya pak….ni dari anak-anak angkatan 30 ni….

    oiya,,,kalo HUT dateng donk….

  13. dermawan bakri
    Friday, 23 July 2010 at 1:25 am

    Salam widya karma jaya…^^b

    luar biasa, andainya tulisn ini dibaca semua anak kecil seumuran saya…

  14. Is Subandi Priyatno
    Tuesday, 3 August 2010 at 9:23 am

    salam kenal,
    Mudah2an terkaan saya benar, mas yanuar nugroho dulu adalah sma tiga sekelas ama Dwi rahmat kusdiyanto, saya adiknya. Dulu saya ama nmas rahmat ke SMA dengan naik bis damri, turun warung gede, Kelas Tiganya turun dipasar ledoksari..

    Salam kenal. Sukses selalu..

  15. Gogon
    Friday, 13 December 2013 at 7:17 pm

    Takjub…. Bru tau ternyata ad jg org kalirahman yg secerdas anda saya kira pemuda kalirahman khususnya atau gandekan umumnya isinya cuma…. Anda tau sendiri kan ?
    Kalo blh tau anda di rt brp ya ? Saya dr rt 2 .
    Siapa tau sy bs belajar dg anda ?

  1. No trackbacks yet.

Leave a reply to herry Cancel reply